Kisah Batutis #2
[Catatan Pribadi Ibu Siska Yudhistira Massardi]
Mengajar anak-anak kaum dhuafa, mempunyai keunikan tersendiri. Mereka cenderung agresif dan kasar. kata-kata kotor sering terdengarn ke luar dari mulut mereka pada saat berebut mainan. Kekasaran perilaku juga terjadi saat bermain. Mereka saling memukul, mencubit, atau berebut ingin dipangku guru. Soal duduk dipangkuan dan pegang tangan guru, untuk kita mungkin hanya hal kecil, tapi buat anak-anak, itu adalah hal yang sangat berarti. Mereka selalu berebut memegang tangan guru, dan berebut minta duduk dipangku. Kami para guru sempat bingung dengan hal itu. Aku sering hampir terjatuh kalau salah satu anak menarik paksa tanganku.
Pada pekan kedua itu, kejadian setiap hari rasanya bertambah kacau. Novita, anak yang sangat aktif dan kalau berbicara tanpa henti, selalu ingin minta perhatian semua guru. Hari itu, ia mencubit dan merampas mainan Rahma. Cubitannya cukup keras, sampai meninggalkan memar merah pada tangan Rahma.
Rahma adalah adalah anak yang cantik berkulit putih, wajahnya bulat, bibirnya kecil dan berwarna merah. Suaranya sangat halus, dan sangat lucu. Ia menjadi kesayangan semua guru. Ia jarang membuat ulah. Sikapnya sangat manis. Tetapi ia selalu menjadi sasaran kenakalan teman-temannya yang tergolong aktif.
Rahma hampir menangis. Aku berusaha menenangkannya. Ketika ia sudah tenang, aku mendatangi Novita, memberitahukan akibat dari perbuatannya. Aku bilang, tidak boleh merampas dan menaykiti teman, tetapi dia pura-pura tidak mendengarkanku. Ketika aku mengulangi nasihatku, Novita langsung meludahi bajuku. Aku kaget. Aku tidak siap akan hal itu. Novita langsung lari menjauh, meminta perlindungan dari guru lain.
Suasana kelas yang panas dan sumpek, disertai bau keringat anak-anak yang kurang sedap, menambah keletihanku. Jerit-tangis silih berganti. Orangtua bergantian masuk kelas, ikut menenangkan anaknya. Beberapa anak menumpahkan air minum, membuat kelas agak becek, belum lagi remah-remah bekas kue mereka. Ruang kelas bertambah pengap. wajah guru yang lain terlihat begitu tertekan dan putus asa. Senyum kami mulai terasa hambar tanpa makna. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Kepalaku terasa ikut berputar saat melihat sekelompok anak berlarian mengelilingi kelas dan menjerit-jerit. Benar-benar hari yang berat buat kami.
Sepanjang hari, aku merenung dan sedih dengan begitu banyak masalah dan kejadian yang berlangsung selama dua minggu. Memasuki kehidupan lapisan masyarakat miskin, ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Kalau mau ambil jalan yang praktis, lebih enak memberikan sumbangan ke masjid atau yayasan yatim piatu. Kirimkan uang atau beras, setelah itu habis perkara. Urusan pahala, Allah yang mengatur, dan tentunya kita berharap ridha Allah. Tetapi, melihat langsung dan ikut memasuki kehidupan mereka sehari-hari, sungguh tidak mudah. Membimbing anak-anak yang diasuh dalam kemiskinan dan kerasnya hidup benar-benar perlu hati yang ikhlas dalam arti yang sesungguhnya, dan kerja keras!
Pada pekan ketiga, Fudin membuat ulah lagi. Ia dan adiknya berkelahi karena berebut mainan, hingga kami kesulitan untuk melerainya. Aku sangat kaget dengan cara mereka bereklahi, yang di luar batas kelakuan anak-anak. Fudin dipukuli adiknya dengan tangan, sangat keras dan berulang-ulang. Posisi Fudin di bawah, dan sang adik menduduki perutnya. Fudin menangis berteriak-teriak sambil menutupi mukanya. Si adik terus memukuli bertubi-tubi tanpa ampun dan meninggalkan bekas memar pada wajah Fudin. Dengan tenaga tiga orang guru, akhirnya mereka bisa kami pisahkan. Masya Allah.... Mengerikan sekali.
Aku sangat taku membayangkan kembali peristiwa itu, yang terjadi pada anak-anak di usia yang masih sangat kecil. Aku rangkul Fudin dan memberinya minum, hingga dia kembali tenang. Aku tak sanggup berkata lain kecuali hanya mengusap-usap kepalanya. Pikiranku saat itu benar-benar kacau. Aku benar-benar tidak menyangka hal seperti itu akan terjadi.
Di hari lain, menjelang jam masuk sekolah, tiba-tiba Bu Rum menjerit dan memanggi-manggil guru yang lain, sambil menunjuk ke arah pintu gerbang kami yang bersebelahan dengan pintu kelas. Ada seorang anak yang menjerit sangat keras, lalu menangis. Kami berhamburan berlari ke luar mencari tahu ada apa di luar sana. Tepat di pintu pagar, seorang ibu memukuli anaknya yang menjadi murid kami, dengan menggunakan sandal sang ibu, dan satu tangan lain mencubiti tubuh si anak. Kembali aku terkesima melihat kejadian itu. Fitri, anak itu, meronta hingga terjatuh, setengah celentang di teras depan pagar. Sang ibu tidak berhenti memukuli.
Bu Rum yang tergolong perasa di antara kami, menangis di belakangku. Kemudian Bu Dyah mengambil inisiatif dengan membawa Fitri ke dalam kelas. Anehnya, Fitri justru menjerit memanggil-manggil ibunya yang baru saja memukulinya. Akhirnya, mereka berdua kami beri tempat duduk di sudut, dan aku memberi tahu ibunya agar tidak memukuli lagi. Sepanjang hari, Fitri tidak bisa mengikuti kegiatan di kelas, hanya menangis. Kami kerja keras untuk menenangkannya.
Anak-anak yang lain, ternyata tidak ada yang terpengaruh oleh kejadian itu. Mereka tetap asyik dengan buku-buku dan mainan bekas, sumbangan beberapa teman dan bekas mainan anakku. Aku memandang situasi itu dengan perasaan agak heran; kenapa mereka begitu tidak peduli pada peristiwa itu. Padahal, kelakuan ibu Fitri itu membuat kami, para guru, merasa sangat prihatin.
Sepanjang hari itu, keadaan kelas memang lebih kacau dari biasanya. Saat mau cuci tangan, anak-anak tidak mau antre. Mereka saling berebut dan berdesakan. Sehingga, salah satu anak, Lala, terjatuh. Gadis bertubuh kecil dengan kulit agak hitam dan berwajah manis itu, menangis. Kami berusaha menenangkannya.
Beberapa murid, seperti Fudin dan adiknya, jarang membawa bekal makanan ke sekolah. Jadi, kami harus selalu menyediakan makan kecil untuk mereka, agar keduanya bisa makan bersama dengan teman-temannya. Sejak awal, kami melarang anak-anak membawa makanan yang "merangsang" batuk, seperti chips dan sejenisnya.
Pada setiap hari Senin, aku biasa meminta anak-anak itu menceritakan kembali kegiatan akhir pekan masing-masing. Satu per satu mereka menuturkan kembali kegiatan di rumah bersama keluarga masing-masing. Hampir rata-rata, isi ceritanya khayalan dan dambaan akan suatu tempat hiburan. Daman, misalnya. Ia murid laki-laki selalu bercerita bahwa hampir setiap minggu ia bersama keluarganya pergi ke Ancol. Begitu juga dengan "Yani Si Pemalu." Kami menyebutnya begitu karena ia cenderung pendiam, dengan kemampuan ekspresi yang terbatas, suaranya sangat pelan, dan tidak akan bicara kalau tidak ditanya. Yani selalu bilang, kegiatan akhir pekannya pergi ke Ancol. Ketika ditanya, melihat apa di sana, ia hanya tersenyum malu-malu. Sepertinya, ia memang belum tahu keadaan Ancol yang sesungguhnya. Semua hanya khayalan dan impian mereka.
Malamnya, sehabit solat, aku menangis. Aku terus berdoa minta kekuatan dan diberi bonus kesabaran agar dapat menerima anak-anak itu dengan ikhlas, dan agar ditumbuhkan rasa kasih sayang dalam hati kami....
Ketika aku menceritakan kembali semua kejadian itu pada suamiku --ia yang selama hidupnya menjadi tempat curahan isi hatiku --aku menangis dan hampir menyerah. Kembali ia mengingatkan bahwa aku tidak bisa mundur. Aku menawar, bagaimana kalau tahun depan aku tidak mau menerima anak-anak dari kelompok A yang cenderung sulit diatur, suami kembali mengingatkan untuk jangan menyerah, selalu sabar, serta memohon kepada Allah.
Setiap hari Rabu dan Jumat, sekolah mengadakan acara makan bersama. Kegiatan itu dikelola oleh Bu Dyah, yang menyediakan dan memasak beberapa menu sederhana tapi bergizi. Saat makan bersama, anak-anak itu tampak begitu bersemangat. Terkadang ada yang makan secara berlebihan. Tapi, kami memaklumi hal itu, sekaligus merasa sedih dan bahagia melihat mereka makan dengan menu hanya nasi goreng dan telur, tapi tampak begitu nikmat dan mensyukuri. Berbeda dengan anak-anakku, yang kadang rewel dengan menu yang sudah aku anggap cukup banyak, tetapi masih mengeluh dan merengek minta jajan yang lain. Aku benar-benar sedih memikirkan itu semua. Betapa kami kadang kurang mensyukuri setiap pemberian Allah. .... Ampuni kami, ya Allah.